Ketika saya melanjutkan kuliah di malang, yang notabene kota pendidikan, tempatnya orang-orang pandai dan terdidik, saya merasa bahwa apa yang telah saya dapat dari MA Kanjeng Sepuh mempunyai peran penting bagi saya dalam perjalanan akademik dan non akademik saya di kampus.
Pada masa awal kuliah, tepatnya saat PKPT, tiap mahasiswa belum saling kenal, hanya wajah dan pakain yang dikenali, kepribadian tentu belum kenal, prestasi apalagi, skill dan keahlian juga belum tampak, jiwa kepemimpinan juga belum terlihat. Saat itu antara mahasiswa baru dan kakak senior yang sedang manangani PKPT (Istilah OSPEK di Universitas Negeri Malang) juga belum saling kenal, mereka hanya melihat catatan kecil profil dan biodata mahasiswa baru. Saya dipanggil oleh kakak senior dan saya diberi tahu bahwa saya ditunjuk sebagai Ketua Kelompok Mahasiswa Jurusan Matematika sekaligus Menjadi Danton (Ketua Regu) Mahasiswa Se Fakultas MIPA. Tentu saya bertanya kepada kakak senior, kenapa mesti saya? Dia menjawab karena saya pernah menjadi pengurus induk OSIS dan ketua Koperasi di MA, yang artinya saya ngerti masalah kepemimpinan dan organisasi, akhirnya saya jawab "OK saya bersedia", saya bersedia karena saya merasa bahwa saya mampu (pertama) dan saya ditunjuk bukan mencalonkan diri (kedua).
Nah pada saat itulah, setiap harinya saya memimpin pasukan MABA (mahasiswa baru) dari MIPA, sampai-sampai pada hari terakhir (hari keempat) suara saya serak. Ketika itu baru terpikir oleh saya bahwa saya nggak bakalan ditunjuk dan nggak bakalan ngerti caranya memimpin kalau di MA Kanjeng Sepuh saya nggak belajar dan membekali diri dengan skill kepemimpinan (OSIS). pada hari terakhir terjadi insiden "GEGER" antara Panitia dari BEM pusat Universitas dengan panitia dari BEM fakulta MIPA, sampai-sampai ada anggota panitia BEM pusat yang membentak-bentak sambil membawa OBENG yang dihunuskan kepada panitia dari BEM MIPA, Saat itu semua MABA tertunduk dan nggak berani membantah, padahal kita tidak bersalah dan merasa didholimi, Saat itu entah ada angin apa saya berani membantah dan beradu mulut dengan panitia, karena saya merasa bahwa mahasiswa dan panitia dari MIPA nggak bersalah, yang akhirnya karena saya membantah itu panitia pusat marah-marah dan membentak bentak saya juga, walaupun saya merasa kuatir juga akan ada apa-apa pada diri saya, tapi saya punya prinsip kalo saya nggak salah jangan takut, dan prinsip itulah yang saya dapatkan dari MA Kanjeng Sepuh.
Di malang saya masuk asrama UM dan tidak tinggal di kos-kosan, karena saya melihat di asraam pergaulan lebih terjaga di samping ada banyak kakak kelas dari MA Kanjeng Sepuh yang tinggal di Asrama, termasuk Mas Yatna Supriatna (MAKS 1995-1998) yang saya baru tahu saat itu dia menjabat sebagai Ketua Umum Asrama UM, sebuah jabatan prestisius di lingkungan mahasiswa UM. Kenapa saya katakan prestisius karena jabatan Ketua Umum, Ketua 1 dan Ketua 2 Asrama UM menjadi rebutan oleh semua OMEKS (Organisasi Ekstra Kampus) seperti HMI, PMII, KAMMI, IMM, Sampai golongan netral (Non OMEKS). Saya melihatnya asrama UM ini merupakan miniatur dari keadaan Politik di Tingkat UM, bahkan mencerminkan Iklim Politik Nasional, banyak partai, banyak kepentingan, sarat dengan deal-deal politik, bahkan apapun harus dilakukan agar calon-calon ketua yang diusungnya menang, tidak peduli apakah calonnya itu yang terbaik dari kader asrama atau bukan. Deal-deal politik saling dilakukan oleh masing-masing OMEKS, jegal sana sini, hanya agar calonnya menang dan rivalnya kalah. Contoh ringan saja masalah persyaratan calon ketua, OMEKS saling bermanuver agar calonnya lolos dan rivalnya gak lolos. Masalah IPK (Indeks Prestasi Kumulatif, kalau di sekolah Rata-Rata Raport) contohnya, Kalau calon OMEKS A misalnya IPK tinggi 3.00, OMEKS B IPK calonnya 2.75, OMEKS C IPK calonnnya 2.9, maka OMEKS A akan berupaya agar syarat ketua IPK nya 3.00, bagaimanapun caranya, agar calon OMEKS B dan OMEKS C gak lolos. Koalisi antar OMEKS yang satu dengan yang lain juga dilakukan, ya pokonya hampir sama lah dengan di Indonesia (DPR/MPR). Sidang-sidang yang dilakukan juga sama aturan dan teknisnya, bahkan dari sekian banyak organisasi kampus, hanya asrama UM saja yang mampu melaksanakan sidang MUSGA (Musyawarah Warga / MPR nya Asrama) sampai 5 hari 5 malam, kenapa lama? Ya karena lamanya adu argumen antar peserta dari masing-masing OMEKS, sampai-sampai masalah kosa kata saja bisa menjadi ajang perdebatan. Terus yang nggak kalah serunya adalah pada waktu penyampaian laporan pertanggungjawaban ketua umum, ketua 1 dan ketua 2. Pokoknya kalau ketua itu bukan kadernya, maka akan dibantai habis-habisan oleh para anggota OMEKS. Laporan pertanggungjawaban terlama adalah pada masa Mas Yatna Supriatna sekitar 9 jam mulai pukul 11.30 malam – 04.30 pagi, dilanjutkan pukul 08.00 pagi sampai jam 12.00 siang. Selama 8 jam itu yang diotak-atik hanya laporan, kebijakannya lah, masalah dana, masalah sehari-hari ketua, dan lain-lain. Nggak masalah lah, itu semua adalah pelajaran yang sangat berharga.
Terus apa hubungannya dengan saya? Nah di asrama UM karir saya dimulai dari menjadi ketua RT di asrama selama satu semester (semester 1), nah pada saat menjadi ketua RT itu saya menjadi ketua RT teladan di Asrama UM. Setelah itu, jenjang karir saya naik menjadi Sie Konsumsi asrama, salah satu Sie Strategis di asrama, karena katanya setelah menjdi Sie Konsumsi itu biasanya naik lagi jenjangnya, entah itu menjadi Kabid atau Ketua. Saya nggak mau tahu yang penting kerja yang bener, lagian saya nggak mau menjadi ketua asrama kalau sistemnya mencalonkan diri seperti itu, rebutan lagi, sementara yang saya pahami dari MA kanjeng Sepuh, bahwa jabatan itu adalah amanah, jangan dikejar-kejar apalagi memakai cara-cara yang nggak lazim.
bersambung.....
4 komentar:
bureng mas perlu begroun yg cerah wae
ass. gmn kbry mas?naning
guru lainnya mna pakkk???
wahhhh3x....
# DAROS
woooow... nama saya kok di bawa2 .. 😀😀
inspiratif utk terus berliterasi, MA Kanjeng Sepuh patut dibanggakan, tiga tahun tak terlupakan, smg sehat selalu para guru saya & sholih sholihah adek2 saya ...
Posting Komentar